CaremodeID – Banyak anak muda merasa Keuangan seperti pasir di genggaman: makin dikepal, makin hilang. Gaji masuk, notifikasi tagihan berdatangan, paylater menunggu jatuh tempo, harga barang merangkak. Di tengah ekonomi yang cepat berubah, Milenial dan Gen Z memegang ponsel lebih lama daripada buku tabungan, mencoba menambal bocor anggaran sambil mengejar mimpi karier. Masalahnya bukan sekadar “boros” atau “kurang disiplin”, tetapi campuran inflasi, budaya konsumsi digital, kesenjangan literasi, dan ketidakpastian kerja. Kita butuh pandangan jernih, data yang solid, dan strategi sederhana yang bisa dijalankan sekarang juga.
Keuangan anak muda: pola, tekanan, dan kebiasaan digital

Keseharian finansial anak muda dipenuhi layar dan checkout satu ketuk. Budaya “sekarang, bayar belakangan” membuat keputusan Keuangan berlangsung impulsif, apalagi saat promo datang silih berganti. Di sisi lain, dukungan keluarga masih penting: riset Pew menunjukkan banyak anak muda merasa belum sepenuhnya mandiri secara finansial, terutama di rentang 18–24 tahun. Ini bukan sekadar “manja”, tetapi refleksi biaya hidup, sewa tempat, transportasi, dan pendidikan yang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Kebiasaan mikrotransaksi (kopi harian, langganan digital) yang “kecil” juga diam-diam menumpuk, mengaburkan gambaran arus kas sebenarnya.
Tekanan objektif ikut memperkeruh. IMF menegaskan krisis biaya hidup dipicu pandemi, gangguan pangan-energi, dan perang yang mendorong harga naik. Akibatnya, daya beli tergerus, cicilan terasa berat, dan dana darurat makin tipis. Dalam konteks Indonesia, inklusi memang meningkat, tetapi tidak selalu dibarengi literasi yang memadai. OJK menunjukkan literasi dan inklusi naik, namun kesenjangan perilaku—paham konsep tetapi sulit konsisten—masih tampak. Kenaikan pemakaian paylater menambah tantangan: kemudahan transaksi tidak otomatis berarti keputusan yang bijak.
Dari literasi ke perilaku: mengapa “tahu” tidak selalu “mampu”
Ada jurang antara pengetahuan dan tindakan. Riset GFLEC/TIAA menemukan Gen Z menjawab benar sekitar 38% pertanyaan literasi finansial—rendah meski tumbuh di era informasi. OECD PISA 2022 juga menggarisbawahi pemahaman uang di usia 15 tahun bervariasi kuat menurut latar sosio-ekonomi dan pengalaman mengelola uang. Artinya, akses ke konten edukasi tidak otomatis berubah menjadi kebiasaan baik: tanpa latihan membuat anggaran, menunda pembelian, dan mengukur risiko, konsep tetap abstrak. Di kelas, kita jarang diajak mempraktikkan negosiasi biaya, membaca syarat kredit, atau merencanakan dana darurat.
Di sisi lain, perilaku pasar mendorong konsumsi cepat. McKinsey mencatat adopsi pembayaran digital kian dalam, memperpendek jarak dari “lihat” ke “beli”. Reuters menambahkan—menjelang IPO Klarna—BNPL melonjak, sering dipakai generasi muda untuk belanja rutin. Ini menegaskan paradoks: akses keuangan makin luas (World Bank: Findex terbaru memperbarui gambaran global), tetapi tanpa kebiasaan melacak arus kas, hutang jangka pendek menekan tujuan jangka panjang. Tantangannya adalah mengubah antarmuka yang mendorong belanja menjadi alat yang membantu kendali diri.
Apa kata data: literasi, inklusi, dan perilaku Keuangan
Data kunci menggambar pola konsisten: literasi meningkat perlahan, tetapi perilaku berutang jangka pendek tumbuh cepat. OJK merilis peningkatan indeks literasi dan inklusi; World Bank memperkuat bahwa lebih banyak orang punya rekening dan akses pembayaran digital. Namun GFLEC menunjukkan pemahaman konsep seperti bunga majemuk, risiko, dan inflasi tetap rendah di Gen Z. Reuters mencatat nilai transaksi BNPL di AS menanjak pada 2024–2025, dengan pengguna muda sebagai pendorong utama. Di Indonesia, laporan media dan studi perilaku paylater menunjukkan adopsi tinggi, selaras dengan tren e-commerce. Intinya: akses naik, kontrol belum tentu ikut naik.
Ke depan: risiko menumpuk, tapi peluang juga terbuka

Jika tidak diatasi, masa depan Keuangan anak muda berisiko:
- Beban bunga tersembunyi dari cicilan pendek yang berulang, membuat keseimbangan kas selalu “tengah bulan”.
- Ketertinggalan aset jangka panjang, karena dana investasi tergeser konsumsi harian.
- Rentan guncangan saat terjadi PHK, sakit, atau krisis harga.
Namun peluangnya jelas. Pertama, inflasi bisa meredistribusi: riset IMF menunjukkan rumah tangga muda berutang besar kadang “diuntungkan” oleh erosi nilai riil utang, meski ini bukan strategi yang bisa diandalkan. Kedua, literasi terapan—mengajar lewat simulasi anggaran, magang bank mini di sekolah, hingga ko-kurikuler—memberi dampak lebih cepat dibanding ceramah. Ketiga, teknologi beretika: dompet digital dapat menampilkan “friksi sehat” (peringatan sebelum checkout, batas harian belanja, kalkulator bunga majemuk) agar keputusan lebih sadar, bukan reaktif.
Kesimpulan
Masalah Keuangan Milenial & Gen Z bukan sekadar “kurang hemat”, melainkan kombinasi tekanan ekonomi, desain platform, dan celah literasi terapan. Kabar baiknya: perubahan tidak harus rumit. Mulai dari anggaran tiga amplop (kebutuhan–tujuan–hiburan), pasang batas paylater, isi dana darurat satu bulan biaya hidup, dan otomatisasi tabungan saat gajian. Lalu, belajar satu konsep per minggu—bunga majemuk, risiko vs imbal hasil, biaya peluang—dan praktikkan langsung di dompet digital. Kecil, konsisten, dan konkret: begitu caranya mengubah arus dari kebiasaan “gesek dulu” menjadi “kendali dulu”.
Referensi
PISA 2022 Results (Volume IV): Financial Literacy, OECD, 2024. OECD
Financial well-being and literacy in a high-inflation environment (P-Fin Index 2023), TIAA Institute & GFLEC, 2023. gflec.org
Global Findex Database 2025 (overview), World Bank, 2025. World Bank
Siaran Pers: Hasil Survei Nasional Literasi & Inklusi Keuangan 2025, OJK, 2 Mei 2025. OJK
Klarna IPO: Five charts mapping BNPL use, Reuters, 10 September 2025. Reuters
Financial help and independence in young adulthood, Pew Research Center, 25 Januari 2024. Pew Research Center
Cost of Living Crisis, IMF Annual Report 2023 (in focus), IMF, 2023. imf.org
—
Catatan akses: seluruh tautan diverifikasi pada 20 September 2025.
Tinggalkan Balasan