CaremodeIDย โย Di era digital, gaya rambut sering lebih dari sekadar penampilan. Rambut panjang gondrong misalnya, kerap dianggap sebagai simbol kebebasan, pemberontakan, atau sekadar ekspresi diri. Namun, bagi sebagian anak muda, dengan style rambut ini juga bisa jadi strategi untuk โkaburโ sejenak dari tuntutan sosial yang menekan. Artikel ini mencoba membedah fenomena model rambut ini, bukan hanya sebagai gaya, tapi juga sebagai bagian dari identitas dan kesehatan mental generasi muda.
Ringkasan Cepat

- Gondrong punya sejarah panjang: dari simbol perlawanan hingga tren pop culture.
- Bagi anak muda, model rambut ini bisa jadi identitas atau cara melawan tekanan sosial.
- Pandangan masyarakat terhadap style ini sering kontradiktif: bebas tapi juga distigma.
- Penting melihat model rambut ini sebagai ruang ekspresi sehat, bukan sekadar mode.
Sejarah Gondrong dan Maknanya
Gaya rambut gondrong punya akar sejarah kuat. Pada era 1960โ1970-an, model rambut ini identik dengan perlawanan budaya, terutama lewat musik rock dan gerakan counter-culture. Di Indonesia, model rambut ini bahkan pernah dianggap subversif dan dikaitkan dengan kenakalan remaja.
Kini, maknanya lebih cair. Anak muda bisa gunakan model rambut ini untuk gaya, identitas seni, atau sekadar kenyamanan. Menurut arsip Kompas, stigma style rambut inisudah bergeser, meski masih ada sisa pandangan konservatif di sebagian masyarakat.
Tips Cepat
Bila ingin gondrong, pahami konteks sosial: tidak semua lingkungan kerja atau sekolah menerimanya.
Gondrong sebagai Ekspresi Identitas
Bagi Gen Z, model rambut ini kerap jadi ruang ekspresi. Sama seperti fashion atau tato, rambut gondrong memberi pesan bahwa seseorang berani berbeda. Anak muda urban misalnya, memadukan model rambut ini dengan gaya streetwear atau gaya seni indie.
Berdasarkan artikel Tirto, style ini bukan sekadar gaya, tapi juga bentuk โnarasi tubuhโ tentang kebebasan. Hal ini membuat style rambut ini lebih dari sekadar estetikaโia adalah medium komunikasi sosial.
Tekanan Sosial dan Strategi Kabur
Tidak bisa dipungkiri, tekanan sosial di era digital semakin besar: standar kecantikan, tuntutan kerja, hingga ekspektasi keluarga. Bagi sebagian anak muda, gondrong jadi bentuk resistensi halus: cara menandai bahwa mereka tidak ingin tunduk pada aturan seragam.
Namun, stye ini juga bisa dibaca sebagai โpelarianโ dari tekanan. Alih-alih konfrontatif, anak muda memilih simbol fisikโrambutโuntuk menunjukkan kemandirian.
Stigma yang Masih Melekat
Meski lebih diterima, gondrong tetap punya stigma. Di beberapa institusi, model rambut ini dianggap tidak disiplin. Hal ini kerap menimbulkan dilema: antara keinginan bebas dengan aturan sosial yang ketat.
Stigma ini tercatat dalam laporan BBC Indonesia, yang menyoroti diskriminasi gaya rambut di ruang kerja. Jadi, model ini masih jadi arena tarik-ulur antara individu dan norma.
Gondrong sebagai Ruang Refleksi
Di luar stigma, potongan rambut ini bisa jadi ruang refleksi personal. Proses memanjangkan rambut melatih kesabaran, disiplin, dan perawatan diri. Bagi banyak orang, Model rambut ini justru membawa pengalaman baru: dari komentar orang, hingga cara berbeda melihat tubuh sendiri.
Pada akhirnya, style ini bisa dibaca sebagai latihan menerima diriโsebuah nilai penting di era mental health awareness saat ini.
FAQ: Gondrong & Topik Terkait
Apakah Gondrong hanya untuk laki-laki?
Tidak. Model rambut ini bisa untuk siapa saja, termasuk perempuan, non-biner, atau siapapun yang ingin mengekspresikan diri.
Apakah Gondrong masih dianggap โnakalโ?
Stigma ini makin berkurang, tapi masih ada di beberapa lingkungan konservatif.
Bagaimana cara merawat rambut ?
Gunakan sampo ringan, rutin potong ujung rambut, dan hindari panas berlebihan.
Apakah bisa memengaruhi karier?
Bergantung konteks. Beberapa industri kreatif lebih fleksibel, tapi sektor formal masih membatasi gaya rambut ini.
“Rambutmu, ekspresimu: gondrong atau tidak, yang penting nyaman jadi diri sendiri.”
Baca Juga
- Self-Care untuk Gen Z: Merawat Tubuh & Pikiran
- Mengapa Gen Z Rentan Quarter Life Crisis
- FOMO: Fenomena Digital yang Menghantui Gen Z
Sumber & Referensi
Sumber rujukan:
Kompas,
Tirto,
BBC Indonesia,
History.com
Tinggalkan Balasan