CaremodeID โ FOMOโfear of missing outโkini menjadi kata kunci sehari-hari di timeline Gen Z Indonesia. Notifikasi beruntun, story yang hilang dalam 24 jam, dan label โhanya hari iniโ menyalakan rasa cemas agar kita terus menatap layar. Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup digital. FOMO berkelindan dengan cara platform mengatur atensi, cara brand menjual, dan cara komunitas muda memaknai kebersamaan. Karena itu, membaca FOMO berarti membaca politik emosi di era ekonomi perhatian: siapa yang memetik manfaat, siapa yang membayar dengan fokus, waktu, dan kesehatan mental.
1) Peta Singkat: Mengapa FOMO tumbuh di ekosistem Gen Z

Di Indonesia, penetrasi internet melonjak dalam beberapa tahun terakhir (rilis asosiasi industri 2024 menempatkan pengguna di atas 220 juta). Laporan digital global 2025 juga menunjukkan jumlah identitas pengguna media sosial tetap meningkat. Dengan basis audiens sebesar itu, platform berkompetisi merebut atensi.
Intinya: arsitektur fiturโstory yang lenyap, notifikasi, badge viewersโdirancang untuk menciptakan urgensi. FOMO pun tumbuh sebagai respons alami: kita takut ketinggalan kabar, peluang diskon, bahkan momen hangout virtual.
FOMO sebagai mekanisme dasar (aktif, singkat)
- Kelangkaan waktu: story 24 jam memadatkan keputusan.
- Bukti sosial cepat: repost testimoni, โ99+ viewersโ menekan need to belong.
- Pengulangan halus: swipe, refresh, dan autoplay mengajarkan kebiasaan cek layar.
2) FOMO dan โkapitalisme emosionalโ: ekonomi rasa di story
Sosiolog Eva Illouz menyebut relasi pasarโperasaan sebagai โkapitalisme emosionalโ. Di story, emosi dipaketkan seperti iklan mini: musik nostalgik, caption intim, dan countdown yang menempel di saraf.
Faktanya: model bisnis iklan digital mengonversi perhatian menjadi nilai. FOMO menjaga aliran perhatian itu tetap deras, karena kita merasa harus hadir โsekarangโ.
Opini redaksi (jelas ditandai): ketika kelangkaan bersifat faktual (stok terbatas, jadwal produksi), urgensi wajar. Namun, ketika kelangkaan direkayasa, audiens kehilangan kepercayaan dan komunitas mudah lelah.
Tanda โscarcityโ yang sehat vs bermasalah
- Sehat: stok, kuota, atau tenggat transparan dan bisa diverifikasi.
- Bermasalah: โhabis sebentar lagiโ tanpa data, klaim diskon berulang tanpa jeda.
3) Data 2024โ2025: FOMO, kesehatan mental, dan paparan konstan

Riset internasional pada 2025 menyorot kekhawatiran orang tua terhadap kesehatan mental remaja, sementara sebagian remaja mengaku โhampir selalu onlineโ. Keduanya memberi konteks: akses digital tinggi, paparan juga tinggi.
Kajian psikologi 2024โ2025 berulang kali mengaitkan FOMO dengan penggunaan media sosial yang problematik (checking berlebih, tidur terganggu), serta penurunan kepuasan hidup. Korelasi tidak sama dengan sebab-akibat, tetapi sinyal risiko konsisten.
Tiga indikator risiko FOMO pada Gen Z
- Tidur dan fokus menurun karena cek story berulang menjelang tidur.
- Perbandingan sosial memicu cemas dan overthinking soal capaian teman.
- Impuls belanja meningkat saat countdown dan limited drop muncul bertubi-tubi.
4) Studi kasus Indonesia: UMKM, komunitas kreatif, dan โdropโ serba cepat
Banyak UMKM fesyen/kreatif memanfaatkan story untuk soft launch dan limited drop. Saat countdown dimulai, DM membludak; konversi naik karena keputusan dipadatkan dalam jam yang sempit.
Di sisi lain, komunitas kampus/kolektif musik mengandalkan story untuk mengisi gigs atau open call seni. Akses semakin demokratisโpengumuman menyebar cepat, tiket terjual cepatโnamun ritme konsumsi atensi juga makin cepat.
Pelajaran dari lapangan (pro dan kontra FOMO)
- Pro: mempercepat discovery karya, memberi panggung untuk pelaku kecil.
- Kontra: audiens mudah lelah; promosi berlebihan menurunkan kepercayaan.
5) ProโKontra: FOMO sebagai motor komunitas vs pemicu kelelahan
Pro:
- Memantik kreativitas micro-storytelling (polling, Q&A, behind the scenes).
- Menggerakkan aksi sosial cepat (donasi, relawan, open call).
- Memotong jarak kreatorโpenggemar; komunitas terasa akrab.
Kontra:
- Doomscrolling dan screen fatigue menggerus konsentrasi.
- โKehadiranโ jadi metrik performa sosial, bukan lagi kebutuhan pribadi.
- Fitur rekomendasi dapat mendorong konten yang memicu cemas (tanpa konteks).
Menjaga keseimbangan (bahasa aktif, langkah konkret)
- Batasi frekuensi unggahan promosi; selingi dengan edukasi.
- Gunakan metrik transparan (stok, syarat, kuota).
- Beri jeda 24โ48 jam antar kampanye agar audiens bernapas.
6) Mekanika FOMO yang paling โmenjualโโdan cara menanganinya
Countdown & Limited-Time Offer. Efektif karena memadatkan waktu. Taktik sehat: cantumkan alasan tenggat (biaya produksi, pre-order batch).
Social proof instan. Repost testimoni menambah kepercayaan. Taktik sehat: beri konteks syarat & ketentuan; hindari cherry-picking.
Eksklusif 24 jam. Mengundang checking berulang. Taktik sehat: kreator jadwalkan cooldown day; pengguna buat batch check (2ร10 menit per hari).
Checklist anti-FOMO untuk pembaca (Gen Z & milenial)
- Aktifkan Focus Mode di jam belajar/kerja.
- Pakai aturan 3T sebelum swipe up: butuh? tepat? terjangkau?
- Simpan tautan pembanding (review independen/price tracker).
- Jadwalkan โdigital sabbathโ mingguan (tanpa notifikasi story).
7) Kebijakan & platform: pagar etika di arsitektur atensi
Sepanjang 2025, pemerintah Indonesia menekan platform untuk memoderasi konten berbahaya (disinformasi, perjudian, pornografi). Beberapa fitur siaran langsung sempat dibatasi saat tensi sosial meningkat.
Dampaknya: kreator/brand perlu rencana cadangan. Ketergantungan pada satu aplikasi berisiko ketika kebijakan berubah cepat.
Opsi kreator agar tidak tersandera FOMO
- Diversifikasi kanal: newsletter, situs mandiri, komunitas Discord/Telegram.
- Bangun evergreen hub (panduan, FAQ, dokumentasi proses) sebagai jangkar.
- Ukur health metrics audiens (unfollow, mute, reply) selain sekadar view.
8) Roadmap 12โ18 bulan: apa yang perlu kita pantau?
- Transparansi algoritmik: label iklan, rekomendasi Reels/Stories, dan downranking konten berisiko.
- Program literasi digital di kampus/sekolah: apakah menurunkan screen fatigue dan late-night scrolling?
- Riset longitudinal soal FOMO pada remaja Indonesia: apakah intervensi batch check dan cooldown day efektif?
Kesimpulan (ringkas, actionable)
FOMO adalah gejala normal di ekosistem atensi yang dirancang kompetitif. Ia bisa menghubungkan karya dan komunitas, sekaligus memicu kecemasan kolektif. Kuncinya: kurasi, bukan abstinensi. Untuk pembaca, jalankan batch check, matikan pemicu cemas, dan cek fakta sebelum klik. Untuk kreator/brand, gunakan kelangkaan yang jujur, ritme yang manusiawi, dan kanal yang beragam. Untuk kampus dan pembuat kebijakan, dorong literasi atensi sebagai keterampilan dasar. Dengan begitu, kita hadir pada momen yang pentingโbukan sekadar momen yang mendesak.
DataReportal (2025) โ ringkasan statistik digital global & Indonesia: https://datareportal.com
APJII (2024) โ Survei Pengguna Internet Indonesia: https://apjii.or.id
Pew Research Center (2025) โ Teens, Social Media and Mental Health: https://www.pewresearch.org
Meta Transparency Center (2025) โ laporan integritas/penegakan kebijakan: https://transparency.fb.com
Tinggalkan Balasan