CaremodeID – Di era notifikasi tanpa tidur, Hustle Culture menjanjikan “naik kelas” lewat kerja nonstop—namun banyak milenial dan Gen Z justru merasa kosong, cemas, dan selalu tertinggal. Di sisi layar, hidup tampak cepat; di baliknya, tubuh dan pikiran memikul jam panjang, target elastis, dan ekspektasi yang selalu naik. Artikel ini membongkar bagaimana Hustle Culture menyelinap ke cara kita menilai diri, mempengaruhi kesehatan mental, serta menawarkan langkah konkret agar ambisi tetap menyala tanpa membakar kita habis.
Apa itu Hustle Culture dan mengapa ia memikat?

Hustle Culture adalah pola pikir yang mengagungkan kerja tanpa henti, mengukur nilai diri dari produktivitas, dan memaklumi kelelahan sebagai “harga sukses”. Ia memikat karena menawarkan identitas—kita merasa penting saat sibuk, berguna saat berlari. Bagi banyak Gen Z dan milenial, narasi “grind” lahir dari tekanan ekonomi, biaya hidup, dan algoritma yang menyanjung pencapaian cepat. Tantangannya: otak manusia butuh ritme pulih—tidur, jeda, relasi—yang kerap dipatahkan oleh budaya selalu-online. Tanpa pagar, kerja merembes ke malam, akhir pekan, bahkan momen sunyi.
Di ruang digital, Hustle Culture didorong “always-on”: pesan kerja lewat ponsel, jadwal cair, dan rasa bersalah saat tidak responsif. Penelitian menunjukkan konektivitas terus-menerus mengikis batas rumah–kantor dan menaikkan beban mental, terutama bagi pekerja pengetahuan dan mereka dengan peran pengasuhan. Ketika notifikasi menjadi kompas hidup, fokus hancur jadi fragmen; otak lompat dari tugas ke tugas, tapi jarang menyelesaikan pemulihan. Pada titik ini, lelah berubah menjadi letih emosional, sikap sinis, dan menurunnya efektivitas—tiga tanda klasik burnout.
Dampak nyata Hustle Culture pada kesehatan mental milenial & Gen Z
Hustle Culture berjalan berdampingan dengan angka stres yang keras. Laporan organisasi global menggambarkan pola yang konsisten: tingginya rasa cemas, kekhawatiran finansial, dan jam kerja panjang berkorelasi dengan burnout. Survei lintas negara juga mencatat banyak anak muda yang merasa stres hingga tak mampu masuk kerja setidaknya sekali dalam setahun. Tekanan ini tidak hanya menurunkan semangat, tetapi juga merusak kualitas tidur, relasi, dan kemampuan mengambil keputusan—hal yang krusial di awal karier.
Di sisi lain, pekerjaan yang layak dan sehat justru bisa memperbaiki pemulihan, rasa inklusi, dan fungsi sosial. Artinya, kerja bukan musuh—ritme dan aturannyalah yang perlu ditata. Ketika tempat kerja memberi kendali atas waktu, beban yang wajar, dan dukungan psikologis, dampak positifnya terasa: rasa bermakna naik, burnout turun. Kuncinya bukan menghapus ambisi, melainkan menyehatkan sistem: batas komunikasi setelah jam kerja, ekspektasi yang jelas, serta akses ke bantuan profesional.
Data kredibel Hustle Culture: apa yang dikatakan riset terbaru
Laporan global dan kajian akademik terkini menyiratkan hal serupa: generasi muda lebih sering melaporkan stres tinggi dan kecemasan, dan sebagian mengaitkannya dengan pekerjaan. Ada temuan bahwa jam kerja yang melampaui ambang tertentu menggandakan peluang burnout, sementara lingkungan kerja yang memberi dukungan dan engagement yang baik menurunkan risikonya. Kajian tentang budaya “always-on” juga menunjukkan peningkatan kelelahan mental dan kaburnya batas peran, dengan fokus riset yang selama ini lebih banyak menekan perubahan individu (misalnya “detoks digital”) daripada intervensi kebijakan organisasi—celah yang perlu ditutup oleh HR dan pimpinan.
Ke depan: gesekan nilai, AI, dan aturan main baru

Ke depan, benturan nilai akan makin terasa. Gen Z dan milenial ingin kerja bermakna, fleksibel, dan manusiawi, namun banyak sistem masih mengukur output lewat jam panjang dan respons kilat. AI dapat mengambil tugas repetitif dan membantu fokus, tetapi juga berpotensi menciptakan “kerja tanpa akhir” jika target terus dinaikkan seiring efisiensi. Konflik bisa muncul saat batas pesan di luar jam kerja dianggap “kurang loyal”, atau ketika kesehatan mental diunggah sebagai citra, bukan budaya.
Apa yang bisa dilakukan—secara realistis dan segera?
- Tetapkan “jam senyap” pribadi dan tim: matikan push email setelah jam kerja, gunakan penjadwalan pesan.
- Redefinisi produktivitas: ukur dampak, bukan kehadiran; target mingguan realistis.
- Ritme pemulihan: 52/17 (52 menit fokus, 17 menit jeda), tidur cukup, dan satu “hari tanpa target” tiap pekan.
- Transparansi beban: minta prioritas tertulis; tolak eskalasi tanpa sumber daya.
- Dukungan profesional: manfaatkan layanan konseling/employee assistance bila tersedia; normalisasi minta bantuan.
- Social diet: kurangi konten “grind comparison”; pilih akun yang mengedepankan belajar dan kesehatan.
Kesimpulan
Hustle Culture bukan sekadar tren; ia adalah cermin dari kecemasan zaman. Kita bisa tetap ambisius tanpa mengorbankan kewarasan dengan merawat batas, memulihkan ritme, dan menuntut struktur kerja yang adil. Mulailah dari langkah kecil yang bisa Anda kendalikan hari ini: tetapkan jam senyap, susun tiga prioritas nyata, dan beri tubuh haknya untuk pulih. Produktivitas yang bertahan lama lahir dari pikiran yang tenang.
Referensi
Mental health at work, World Health Organization, 2024, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-at-work (diakses 20 Sep 2025)
Mental health of adolescents, World Health Organization, 2025, https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health (diakses 20 Sep 2025)
2025 Gen Z and Millennial Survey, Deloitte Insights, 2025, https://www.deloitte.com/us/en/insights/topics/talent/2025-gen-z-millennial-survey.html (rilis 2 Jun 2025, diakses 20 Sep 2025)
2023 Work in America Survey, American Psychological Association, 2023, https://www.apa.org/pubs/reports/work-in-america/2023-workplace-health-well-being (diakses 20 Sep 2025)
Ipsos World Mental Health Day Report, Ipsos, 2024, https://www.ipsos.com/en-us/ipsos-world-mental-health-day-report (rilis 8 Okt 2024, diakses 20 Sep 2025)
Why Americans Are Working Less (burnout vs jam kerja), Gallup, 2025, https://www.gallup.com/workplace/658235/why-americans-working-less.aspx (rilis 25 Mar 2025, diakses 20 Sep 2025)
Navigating the ‘always-on’ culture in the modern workplace, SA Journal of Human Resource Management, 2025, https://sajhrm.co.za/index.php/sajhrm/article/view/3019/4877 (diakses 20 Sep 2025)
Loud quitting (konteks budaya kerja pasca-pandemi), Wikipedia, 2024, https://en.wikipedia.org/wiki/Loud_quitting (diakses 20 Sep 2025)
Tinggalkan Balasan