CaremodeIDย โ€“ย Rutinitas padat, notifikasi tak henti, dan target yang terus naik membuat banyak anak muda merasakan Burnout bahkan sebelum kariernya benar-benar mulai. Istirahat terasa bersalah, akhir pekan tetap standby, dan batas antara kerjaโ€“hidup pribadi kabur. Fenomena ini bukan sekadar โ€œlelahโ€. Burnout diakui organisasi kesehatan dunia sebagai sindrom akibat stres kerja kronis yang tak tertangani, dengan gejala rasa lelah berkepanjangan, sinisme pada pekerjaan, dan turunnya efektivitas. Jika dibiarkan, ia menggerus fokus, kesehatan, hubungan, hingga masa depan finansial. Namun memahami polaโ€”lalu bertindakโ€”bisa mengembalikan kendali. World Health Organization

Apa yang Sebenarnya Terjadi: Stres Kerja, Budaya Always-On, dan Burnout

Burnout
https://id.pinterest.com/pin/102527329011742027/

Bagi Milenial dan Gen Z, kerja bukan hanya cari gajiโ€”ada makna, pertumbuhan, dan kebebasan. Masalahnya, budaya โ€œalways-onโ€ mendorong jam kerja memanjang dan respons cepat sebagai norma. WHO menyebut lingkungan kerja yang tidak menaungi kesehatan mentalโ€”beban berlebih, peran tak jelas, minim kendaliโ€”meningkatkan risiko Burnout. Sementara itu, survei global menunjukkan keterlibatan karyawan menurun dan manajer sendiri kian tertekan, memperburuk kualitas bimbingan dan komunikasi. Kombinasi faktor organisasi dan ekspektasi personal inilah yang membuat generasi muda paling rawan. World Health Organization+1

Di Indonesia, riset kampus menunjukkan beban kerja dan work overload menekan kepuasan kerja, mendorong gejala โ€œquiet quittingโ€ dan kelelahan emosionalโ€”pintu masuk menuju Burnout. Banyak pekerja muda mengakui bekerja saat sakit, melewatkan istirahat, dan merasa tak dihargai, sebuah pola yang pada akhirnya menumbuhkan sinisme pada pekerjaan. Temuan ini menyiratkan: intervensi tak cukup di level individu; perlu perubahan sistemโ€”kepemimpinan yang memberdayakan, budaya yang sehat, serta ritme kerja yang manusiawi. Journal Portal

Mengapa Milenial & Gen Z Lebih Kena Dampak Burnout

Generasi muda tumbuh di tengah internet cepat, media sosial, dan kerja fleksibel. Kelebihan informasinya nyata, tapi tekanan pembandingnya juga besar: semua orang terlihat produktif dan โ€œon trackโ€. APA menemukan pekerja muda lebih sering merasa stres, kesepian, dan tidak dihargaiโ€”terhubung pada identitas, nilai, serta rasa aman karier. Di sisi lain, transisi pascapandemi membuat restrukturisasi dan target efisiensi naik, sementara pelatihan manajer belum sebanding. Hasilnya: workload bertambah, umpan balik minim, dan pertemuan bermakna dengan atasan makin langka. American Psychological Association+1

Berdasarkan laporan global, tekanan ini juga beririsan dengan ketidakpastian teknologi (AI), kompetisi kerja lintas negara, dan standar performa yang makin tinggi. Ketika otonomi rendah namun akuntabilitas tinggi, Burnout lebih mudah muncul. WHO mendorong intervensi organisasi: desain kerja yang adil, beban realistis, peran jelas, dukungan sosial, serta pelatihan manajer untuk mengelola kesehatan mental tim. Pendekatan struktural ini memberi dampak lebih luas daripada sekadar menyuruh karyawan โ€œself-careโ€. World Health Organization

Angka & Fakta Terkini tentang Burnout

Definisi resmi Burnout di ICD-11: sindrom akibat stres kerja kronis yang tak tertangani, ditandai kelelahan, jarak/negativisme terhadap kerja, dan penurunan efektivitas. Di tingkat populasi, WHO mencatat semua pekerja berhak atas lingkungan kerja yang aman dan sehatโ€”dan kebijakan tempat kerja dapat mencegah risiko psikososial. Survei besar tahunan Gallup menunjukkan penurunan keterlibatan dan meningkatnya tekanan, terutama pada manajerโ€”faktor yang menetes ke tim. Untuk konteks Indonesia, studi akademik terbaru menemukan beban kerja berhubungan dengan Burnout Gen Z, dimediasi stres kerja. ResearchGate+3World Health Organization+3World Health Organization+3

ke Depan: Risiko, Peluang, dan Cara Menghindari Krisis Burnout

Burnout
https://id.pinterest.com/pin/502151427230295455/

Jika tak berubah, organisasi menghadapi spiral: produktivitas turun, turnover naik, biaya kesehatan meningkat. OECD menyorot dampak ekonomi besar dari masalah kesehatan mental: absen kerja, pengangguran, hingga keluarnya anak muda dari pasar kerja. Namun peluangnya jelas: perusahaan yang menata ulang beban, memberi otonomi, dan memperkuat manajer akan lebih menarik talenta muda. Intervensi organisasi terbukti efektifโ€”lebih hemat biaya ketimbang kehilangan karyawan kunci. OECD

Apa yang bisa dilakukan sekarangโ€”praktis dan realistis:

  • Tetapkan batas komunikasi: jam tenang dan โ€œno-message hoursโ€ lintas tim. Pastikan atasan menjadi teladan. World Health Organization
  • Rancang ulang beban & peran: sederhanakan target, kurangi rapat, pakai prinsip โ€œfewer, clearer goalsโ€. World Health Organization
  • Latih manajer: kemampuan percakapan bermakna, deteksi dini stres, dan rute dukungan ke HR/layanan profesional. Wall Street Journal
  • Beri otonomi mikro: kontrol pada cara, waktu, dan urutan kerjaโ€”meningkatkan sense of agency. World Health Organization
  • Sediakan akses bantuan: konseling, cuti pemulihan, dan kanal anonim melapor beban tak realistis. International Labour Organization
  • Untuk individu: rapikan โ€œhigiene digitalโ€ (matikan push non-kritis), buat jeda fokus 25โ€“50 menit, tidur cukup, dan negosiasi beban berbasis data, bukan perasaan. (Diperkuat oleh pedoman WHO tentang pencegahan risiko psikososial.) World Health Organization

Kesimpulan

Burnout bukan โ€œkurang kuatโ€ atau โ€œsekadar lelahโ€; ini sinyal sistem kerja perlu ditata ulang. Bagi Milenial & Gen Z, kuncinya adalah menegosiasikan ritme yang manusiawi, menuntut dukungan manajerial yang kompeten, dan membangun batas yang jelas dengan teknologi. Di sisi organisasi, investasi pada desain kerja, pelatihan manajer, dan kebijakan kesehatan mental bukan hanya etisโ€”tetapi strategi bisnis yang menekan turnover, menaikkan performa, dan menjaga masa depan talenta muda.

Referensi

Burn-out an โ€œoccupational phenomenonโ€ (ICD-11), World Health Organization, 2019, diakses 20 Sep 2025. https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon World Health Organization

Mental health at work โ€” Fact sheet, World Health Organization, 2 Sep 2024, diakses 20 Sep 2025. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-at-work World Health Organization

Guidelines on mental health at work, World Health Organization, 28 Sep 2022, diakses 20 Sep 2025. https://www.who.int/publications/i/item/9789240053052 World Health Organization

2024 Work in America Survey: Work, Stress & Health, American Psychological Association, 13 Jun 2024. https://www.apa.org/news/press/releases/2024/06/younger-workers-stressed American Psychological Association

State of the Global Workplace (2025), Gallup โ€” halaman unduhan laporan, diakses 20 Sep 2025. https://www.gallup.com/workplace/349484/state-of-the-global-workplace.aspx Gallup.com

Why millennials and Gen Z are silently leaving their jobs? Quiet quitting, Journal of Universitas Islam Indonesia (AMBR), 2024. https://journal.uii.ac.id/AMBR/article/download/34039/17115/120153 Journal Portal

Mental Health and Work โ€” Policy Series, OECD, 2023โ€“2025, diakses 20 Sep 2025. https://www.oecd.org/en/publications/serials/mental-health-and-work_g1g18ece.html OECD

Mental health at work: Policy brief, ILO & WHO, 2022. https://www.ilo.org/sites/default/files/wcmsp5/groups/public/%40ed_protect/%40protrav/%40safework/documents/publication/wcms_856976.pdf International Labour Organization

โ€”
Catatan akses: seluruh tautan diverifikasi pada 20 September 2025.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *